Rabu, 04 Januari 2012

artikel penerapan sosiologi pada masyarakat

Minggu, 25 Oktober 2009


Artikel Sosial Masyarakat Tentang Masalah Larangan Merokok

Masyarakat DKI Jakarta dibuat kaget, bukan oleh serangan wabah DBD, bukan pula serangan teroris; tetapi oleh rokok. Pasalnya Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso melansir kebijakan baru bertajuk larangan merokok di tempat umum. Yang membuat publik kaget, bukan karena larangannya, tetapi lebih karena hukumannya yang setinggi langit, Rp. 50 juta dan kurungan 6 bulan. Keterkejutan publik, secara sosiologis layak dipahami. Alasannya, hingga detik ini, bahaya rokok di Indonesia masih menjadi "isu pinggiran". Pemerintah, dan bahkan tokoh masyarakat (seperti ulama) juga masih setali tiga uang. Paling banter ulama di Indonesia hanya memberikan fatwa merokok makruh hukumnya. Berbeda dengan jumhur ulama di berbagai negara di Timur Tengah, bahkan Malaysia dan Brunei Darussalam; yang memfatwakan bahwa merokok haram hukumnya. Ulama terkenal Syeikh Yusus Qordhowi termasuk ulama yang mengharamkan merokok (baca Fatwa-Fatwa Kontemporer). Mungkin masyarakat sudah mengerti bahayanya, karena dalam setiap bungkus rokok ada peringatan: merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan ganguan kehamilan dan janin.
Dari sisi kesehatan, bahaya rokok sudah tak terbantahkan lagi. Bukan hanya menurut WHO, tetapi, lebih dari 70 ribu artikel ilmiah membutikan hal itu. Dalam kepulan asap rokok terkandung 4000 racun kimia berbahaya, dan 43 diantaranya bersifat karsinogenik (merangsang tumbuhnya kanker). Berbagai zat berbahaya itu, adalah tar, karbon monoksida (CO), dan nikotin. Anehnya pula, dampak asap rokok bukan hanya untuk di si perokok aktif (active smoker) saja. Ia pun punya dampak sangat serius bagi perokok pasif (passive smoker). Orang yang tidak merokok (passive smoker), tetapi terpapar asap rokok akan menghirup dua kali lipat racun yang dihembuskna pada asap rokok oleh si perokok. Sangat tidak adil; tidak merokok, tetapi malah menghirup racun dua kali lipat. Maka, salah satu cara untuk membatasi perilaku merokok semau gue, WHO mencanangkan program "Kawasan Tanpa Rokok" (KTR) di tempat-tempat umum. Progam seperti ini lazim diterapkan di berbagai negara, termasuk di ASEAN; Singapura, Malaysia bahkan Vietnam. Di Malaysia, organ merokok di tempat umum didenda 500 ringgit, di Bankok didenda 2.000 baht. Oleh sebab itu, kebijakan Gubernur DKI Jakarta menjadi rasional dan layak mendapatkan dukungan publik.