Sapulidi
memang menggambarkan dan mengajarkan nilai kemasyarakatan yang sangat mendalam
untuk masyarakat, terlebih sapilidi menggambarkan kekerabatan dan persatuan
yang harus ditiru, nilai yang tergambar adalah masyarakat harus bersatu dan
bergerak bersama dalam keselarasan untuk menuju satu kehidupan yang imbang, dan
ajakan agar masyarakat saling menolong satusama lain dan tidak bercerai berai
dalam menghadapi kehidupan, karena bersatu lebih kuat daripada sendiri, istilah
yang seirama untuk menggambarkan itu adalah “bersatu kita teguh, bercerai kita
runtuh”. Seperti itu nilai yang digambarkan sapulidi.
Dan pada
nyatanya Media visual atau gambar merupakan pengembangan
suatu kegiatan yang
sudah lama berlangsung dalam dunia diplomasi dan di lingkungan masyarakat
sebagai semacam simbol yang memiliki berjuta makna dan ajakan. Melihat sebuah gambar
dapat dilakukan dengan cara melihat keharmonisan susunan unsur-unsur visualnya.
Unsur-unsur visual berupa komposisi, warna, garis, dan tekstur yang menciptakan
kesan dan pesan tertentu. Setiap orang berhak menafsirkan gambar sesuai dengan
latar belakang pengalamannya.
Saya teringat pada Wassily
Kandinsky pelukis ternama Rusia, menyatakan, lukisan abstrak itu ada kemiripan
dengan musik. Memahami lukisan abstrak bisa diibaratkan seperti kita
mendengarkan musik instrumental. Kita bisa merasakan keindahan nada-nada musik
itu tanpa harus dibebani dengan muatan-muatan verbal. Kira2 gambar (sapulidi)
sebagai media dan objek(gambar) tersebut saya posisikan pada keadaan yang sama
dengan lukisan. Pada pola penyuguhan gambar (interaksi), seorang pelukis
memilih gambar berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Pilihan-pilihan gambar
berdasarkan pada karakter dan makna-makna simbolik gambar itu sendiri. Pada penyuguhan
gambar unsur-unsur visual disusun sedemikian rupa, sehingga menyampaikan pesan
atau kesan tertentu. Unsur-unsur visual ini sendiri memiliki karakter dan
makna-makna simbolik. Karakter dan makna simbolik unsur-unsur visual dapat
menyiratkan makna tertentu yang diinginkan.
Pada pemilihan gambar sebenarnya
ada pola yang bisa dilihat sebagai satu unsur kesengajaan untuk mengajak dan
membawa penerima atau konsumen dari gambar sesuai dengan keinginan dari pemilik
gambar tersebut. Pada lain kasus dapat saya contohkan beberapa langakah
pemilihan simbol yang bisa terinterpretasi dari gambar pula semisal adalah
1.
Mawar
merah dapat diartikan sebagai lambang cinta. Berdasarkan karakternya, warna
merah terkesan semangat, berani, hangat, bahagia, dan optimis. Seorang pemuda
yang memberikan setangkai mawar merah pada gadis pujaannya, dapat diartikan pemuda
itu menyatakan cinta pada si gadis. Karakter warna merah dapat dianggap
mewakili perasaan pemuda itu.
2.
Warna
hitam sering dipergunakan untuk menyatakan dukacita. Berdasarkan karakternya,
warna hitam terkesan gelap, misterius, murung, sedih dan tenang. Pada upacara
pemakaman biasanya orang mengenakan busana warna hitam sebagai pernyataan duka
cita.
3.
Warna
hijau misalnya, banyak dipergunakan untuk simbol lingkungan hidup. Warna ini
memiliki karakter sejuk, dingin, segar, tenang, dan nyaman. Warna hijau memberikan
kesan kehidupan.
4.
Warna
kuning banyak dimanfaatkan untuk upacara-upacara gemerlap dan mewah. Warna
kuning mengesankan kemegahan.
5.
Warna
putih banyak dipergunakan untuk upacara-upacara sakral. Warna putih mengesankan
bersih dan suci.
Demikian pula dengan warna-warna
lainnya. Setiap warna memiliki karakter dan makna-makna simbolik tertentu. Jika pada musik instrumental orang bisa
merasakan nada-nada senang, sedih, semangat dan sebagainya. Demikian pula
dengan lukisan. Komposisi unsur-unsur visual bisa menunjukkan hal yang sama.
Kesan kalem, tenang, tegas, berani, optimis dan sebagainya dapat diciptakan
melalui komposisi unsur-unsur visual.
Dalam hal ini saya mengatakan
kembali bahwa pemilihan gambar sapulidi memiliki tujuan dan makna tertentu yang
secara singkat juga sudah saya ulas diawal tulisan ini. Coba kita analisa
kembali pada ajakan yang ingin disampaikan. Disada ada pola pemaksaan agar kita
bersatu dan melupakan segala perbedaan yang ada dan hal itu tanpa kita sadari
telah terlupakan karena gambar dan penyampaianya menyentuh aspek-aspek yang menunjukan
aspek emosional yang terbau dengan psikologis penerima gambar sapulidi
tersebut, rasa saling bersaduara, rasa saling memiliki, gotongroyong, ramai,
sukacita, dan meniadakan prosesnya.
Lebih dari
itu, jika saya benturkan dengan konteks bahwa gambar sapulidi tersebut sebagai
ajakan kepada masyarakat secara luas bisa saya katakan penyampaian sebuah
berita atau pesan ajakan dalam bentuk gambar tersebut ternyata menyimpan
subjektivitas penyedia gambar. Bagi masyarakat yang belum jeli akan hal
tersebut, pesan dari sebuah berita akan dinilai apa adanya. Berita akan
dipandang sebagai barang suci yang penuh dengan objektivitas. Namun, berbeda
dengan kalangan tertentu yang memahami betul pola tersebut. Mereka akan menilai
lebih dalam terhadap pemberitaan, yaitu dalam setiap penyampaian berita
menyimpan ideologis/latar belakang seorang penyaji gambar. Pemilik gambar pasti
akan memasukkan ide-ide mereka dalam analisis terhadap data-data yang diperoleh
di lapangan walaupun untuk sekedar dijadikan sampel.
Oleh karena
itu, diperlukan sebuah analisis tersendiri terhadap maksud dari penyampaian
berita atau penyajian gambar. Ada beberapa metode yang digunakan untuk
menganalisa berita, yaitu analisis isi (content analysis), analisis
bingkai (frame analysis), analaisis wacana (disccourse analysis),
dan analisis semiotik (semiotic analysis). Semuanya memiliki tujuan yang
berbeda-beda, disesuaikan dengan target pelaku analisis.
Analisis bingkai (frame analysis) berusaha untuk menentukan kunci-kunci
tema dalam sebuah teks dan menunjukkan bahwa latar belakang budaya
membentuk pemahaman kita terhadap sebuah peristiwa. Dalam mempelajarai
media, analisis bingkai menunjukan bagaimana aspek-aspek struktur dan bahasa
berita mempengaruhi aspek-aspek yang lain. (Anonimous, 2004:–). Analisis
bingkai merupakan dasar struktur kognitif yang memandu persepsi dan
representasi realitas. (King, 2004:–). Menurut Panuju (2003:1), frame
analysis adalah analisis untuk membongkar ideologi di balaik penulisan
informasi.
Proses analisis ini dibagi menjadi
empat bagian.
A.
Frame Bulding (Bangunan Bingkai/Frame)
Frame
bulding meliputi kunci pertanyaan: faktor struktur dan
organisasi seperti apa yang mempengaruhi sistem media, atau karakteristik
individu wartawan seperti apa yang mampu mempengaruhi penulisan sebuah berita
terhadap peristiwa.
Faktor yang
mempengaruhi penulisan berita adalah pemilihan pendekatan yang digunakan
wartwan dalam penulisan berita sebagai konsekuensi dari tipe dan orientasi
politik, atau yang disebut sebagai “rutinitas organisasi”. Faktor ketiga adalah
pengaruh dari sumber-sumber eksternal, misalnya aktor politik dan otoritas.
B.
Frame setting (Pengkondisian Framing)
Proses kedua
yang perlu diperhatikan dalam framing sebagai teori efek media adalah frame
setting. Para ahli berargumen bahwa frame setting didasarkan pada
proses identivikasi yang sangat penting. Frame setting ini termasuk
salah satu aspek pengkondisian agenda (agenda setting). Agenda
setting lebih menitikberatkan pada isu-isu yang menonjol/penting, frame
setting, agenda setting tingkat kedua, yang menitikberatkan pada
atribut isu-isu penting. Level pertama dari agenda setting adalah
tarnsmisi objek yang penting, sedangkan tingkat kedua adalah transmisi atribut
yang penting.
C.
Individual-Level Effect of Farming (Tingkat
Efek Framing terhadap Individu)
Tingkat
pengaruh individual terhadap seseorang akan membentuk beberapa variabel
perilaku, kebiasaan, dan variabel kognitif lainnya telah dilakukan dengan
manggunakan model kota hitam (black-box model). Dengan kata lain, studi
ini terfokus pada input dan output, dan dalam kebanyakan kasus,
proses yang menghubungkan variabel-variabel kunci diabaikan.
Kebanyakan
penelitian melakukan percobaan pada nilai keluaran framing tingkat
individu. Meskipun telah memberikan kontribusi yang penting dalam menjelaskan
efek penulisan berita di media dalam hubungannya dengan perilaku, kebiasaan,
dan variabel kognitif lainnya, studi ini tidak mampu menjelaskan bagaimana dan
mengapa dua variabel dihubungkan satu sama lain.
D.
Journalist as Audience (Wartawan sebagai Pendengar)
Pengaruh
dari tata mengulas berita pada isi yang sama dalam media lain adalah fungsi
beragam faktor. Wartawan akan lebih cenderung untuk melakukan pemilihan
konteks. Di sini, diharapkan wartawan dapat berperan sebagai orang yang
mendengarkan analisa pembaca sehingga ada timbal balik ide. Akibatnya,
analisa wartawan tidak serta merta dianggap paling benar dan tidak terdapat
kelemahan.
Yang pasti kita dilarang keras
untuk menjudgemen jika masih pada proses su’udhon.
Gambar sapu lidinya mana neng?
BalasHapusho ho
aku gak mudeng mbok dg tulisan kamu ini.
BalasHapusDi artikel cerita gambar sapu lidi kok tdk ad gmbarnya?
BalasHapus