Dalam proses pembangunan pertanian (seperti revolusi hijau), dalam
konteks sosiologi pedesaan, petani sebagai “wong cilik” malah sesungguhnya
tidak terlibat, karena revolusi hijau justru ‘meninggalkan’ kaum petani. Dengan
pendekatan teori dependensi, terbukti bahwa telah terjadi proses ketergantungan
petani terhadap pupuk sebagai dampak dari program pemupukan intensif dan
pemakaian bibit unggul dalam program Bimas, Insus sampai Supra-Insus, sehingga
terjadi penurunan (keterbelakangan) penghasilan petani. Dalam hal ini, bisa
jadi petani hanya merupakan korban pembangunan pertanian tersebut. Meski
demikian, tidak dipungkiri bahwa di sisi lain, terdapat berbagai dampak positif
revolusi hijau, dimana program tersebut setidaknya berusaha melibatkan petani
kecil yang diupayakan agar mampu mengadopsi berbagai program pembangunan
pertanian. Bahkan proporsi terdasar yang hendak dijangkau
adalah
petani dengan luasan lahan < 0,5 ha.
Sementara itu, proses polarisasi yang sangat cepat yang dialami masyarakat
petani disebut White sebagai proses eksploitasi (penghisapan) dari golongan
kapitalis terhadap masyarakat di bawahnya. Petani, dari segi ekonomi, dilihat
berdasarkan kemampuan mereka untuk dapat menghasilkan pendapatan berdasarkan
sekian liter beras. Dari segi struktur sosial, petani merupakan kelompok
masyarakat dengan klasifikasi paling bawah, seperti juga halnya para nelayan.
Hal ini turut dipacu oleh pertumbuhan populasi (angkatan kerja, migrasi) dan
perkembangan teknologi, akhirnya menempatkan kaum petani pada posisi yang
lemah. Penetrasi ekonomi kapitalis ke pedesaan berupa penerapan teknologi
modern dan sistem pasar yang mengutamakan efisien serta perubahan nilai ekonomi
lahan, menyebabkan tingginya konversi tanah dari pertanian ke non-pertanian.
Hal ini mengakibatkan hilangnya kesempatan bertani bagi sebagian besar buruh
tani, serta semakin longgarnya ikatan-ikatan sosial yang terjalin dalam masyarakat
pedesaan. Dampak sosiologis lain ekonomi kapitalis tersebut mempengaruhi tujuan
produksi petani, strategi, nilai dan norma, serta orientasi hidup, bahkan
kemungkinan untuk terjadinya proses depeasantisasi akibat makin
merebaknya iklim konsumtif yang merambah hingga ke pedesaan.
METAMORPHOSIS: DIMENSI DAN
PERUBAHAN STRUKTUR SOSIAL PETANI
Petani di Indonesia mayoritas merupakan petani kecil dengan penguasaan dan
pengusahaan
lahan yang relatif sempit (< 0,25 ha). Keterbatasan tersebut pada dasarnya
bercirikan
antara lain: (1) sangat terbatasnya penguasaan terhadap sumberdaya; (2) sangat
menggantungkan hidupnya pada usahatani; (3) tingkat pendidikan yang relatif
rendah; dan (4) secara ekonomi, mereka tergolong miskin. Sebagai masyarakat
mayoritas yang hidup di pedesaan, petani merupakan masyarakat yang tidak
primitif, tidak pula modern. Masyarakat petani berada di pertengahan jalan
antara suku-bangsa primitive (tribe) dan masyarakat industri. Mereka
terbentuk sebagai pola-pola dari suatu infrastuktur masyarakat yang tidak bisa
dihapus begitu saja. Dari perjalanan sejarah, kaum
petani
pedesaan (peasantry) memiliki arti penting karena di atas puing-puing
merekalah masyarakat industri dibangun. Mereka mendiami bagian “yang
terbelakang” (di masa kini) dari bumi ini. Masyarakat petani di pedesaan
dipandang sebagai fenomena (yang jelek) dan memperlakukannya sebagai
agregat-agregat tanpa bentuk, tanpa struktur, masyarakat tradisional, serta
mencap mereka sebagai manusia-manusia yang ‘terikat tradisi’ (kebalikan dari ‘modern’).
Masyarakat luar desa, pertama-tama memandang kaum petani pedesaan sebagai satu
sumber tenaga kerja dan barang yang dapat menambah kekuasaannya (fund of
power). Padahal kenyataannya, petani juga merupakan pelaku ekonomi (economic
agent) dan kepala rumah tangga; dimana tanahnya merupakan ‘satu unit
ekonomi dan rumah tangga. Masyarakat petani sebagai masyarakat tradisional.
Konteks ini hendaknya dinilai bukan semata-mata sebagai ‘sumberdaya
peng-usahatani-an’ atau ‘buruh tani’ yang punya ‘nilai tukar’, penghasil ‘nilai
tambah’, tetapi seharusnyalah diakui sebagai manusia, yang berpeluang untuk
mendidik diri (‘rekayasa’ diartikan sebagai upaya membina hak-hak azasi
manusia). Sistem ekonominya disebut ”sistem usahatani keluarga”. Petani
tidak homogen, melainkan ada yang kaya, menengah, gurem, serta bersifat
dinamis. Pada masa kini petani merupakan masyarakat yang memiliki kemampuan
mengadopsi perkembangan teknologi pertanian. Hal ini terlihat pada perkembangan
agribisnis komoditi pertanian, seperti hortikultura, perkebunan rakyat (kopi,
coklat, panili, dan lain-lain), dan peternakan komersial salah satunya melalui
program integrated farming system. Keadaan tersebut dicapai berkat
perkembangan sarana dan prasarana infrastuktur yang mendukung makin terbukanya
akses petani terhadap teknologi pertanian dan kebutuhan pasar modern. Akses
petani di pedesaan juga sudah terbuka melalui perkembangan teknologi komunikasi
dan transportasi yang sudah mencapai pelosok pedesaan. Dalam perekonomian
petani dinyatakan unsur-unsur biaya produksi tidak dapat diperbandingkan dengan
yang terdapat dalam perekonomian kapitalis. Oleh karena itu, cara penghitungan
laba tidak dapat sepenuhnya diterapkan pada perekonomian petani.
Masalah petani adalah fakta yang menarik, sebab mencari keseimbangan antara
tuntutan dunia luar dan kebutuhan petani akan berlangsung selamanya; dimana
hasil yang mereka peroleh adalah dari seluruh tahun kerja, bukan dari
hari kerja (unit kerja). Aliran Marxian melihat akses perekonomian dan
pemilikan sumberdaya petani dengan mengkategorikan atas petani kaya dan petani
miskin.
Apalagi perkembangan teknologi di masa sekarang yang telah membuat akses ke
luar daerah semakin terbuka dan tidak lagi bersifat otonom. Dengan demikian,
para petani yang hidup dan bermukim di desa dimungkinkan untuk dapat tinggal di
luar desanya (migrasi). Pengkajian mengenai petani, tidak lagi terbatas hanya
dalam lingkupnya sebagai komunitas petani dengan tanah (pertanian) dan tenaga
kerja sebagai faktor produksi belaka. Meluasnya cakupan pembahasan petani
sehingga nelayan dan peternak termasuk dan dianggap pula sebagai peasant
society.
Perbedaannya terletak pada ekologi ekosistem tempat petani berusaha,
sehingga terdapat perbedaan bentuk dan pola hubungan dan interaksi, namun tidak
berbeda jauh dengan realitas sosial dari aspek struktur sosial dan nilai
kultural. Dalam komunitas nelayan dan peternak, juga terdapat pola hubungan
patronklien, nilai subsistensi dan subordinasi kelas.
sangat bagus dan informatif sekali
BalasHapus