Senin, 19 Desember 2011

FENOMENA SOSIOLOGIS METAMORPHOSIS PETANI: KE ARAH KEBERPIHAKAN PADA MASYARAKAT PETANI DI PEDESAAN YANG TERPINGGIRKAN TERKAIT KONSEP EKONOMI KERAKYATAN



 Dalam penerapan paradigma modernisasi yang mengutamakan prinsip efisiensi dalam pelaksanaan pembangunan pertanian mengakibatkan terbentuknya perubahan struktur social masyarakat petani di pedesaan. Beberapa proses pelaksanaan pembangunan, terutama industrialisasi, dalam jangka menengah dan panjang mengakibatkan perubahan struktur pemilikan lahan pertanian, pola hubungan kerja dan struktur peluang kerja, serta struktur pendapatan petani di pedesaan. Terkait dengan struktur pemilikan lahan, perubahan tersebut mengakibatkan terjadinya:(1) Petani lapisan atas; merupakan petani yang akses pada sumberdaya lahan, kapital, mampu merespon teknologi dan pasar dengan baik, serta memiliki peluang berproduksi yang berorientasi keuntungan; dan (2) Petani lapisan bawah; sebagai golongan mayoritas di pedesaan yang merupakan petani yang relative miskin (dari segi lahan dan kapital), hanya memiliki faktor produksi tenaga kerja. dalam memenuhi kebutuhan berproduksi, kedua lapisan masyarakat petani tersebut terlibat dalam hubungan kerja yang kurang seimbang. Lebih seabad lamanya struktur masyarakat pertanian Indonesia dalam kondisi sangat timpang. Lebih 80 % petani berlahan kurang dari 1 ha per-KK. Lebih dari 50 persen jumlah petani berlahan sempit ini, menguasai hanya 21 persen dari keseluruhan lahan pertanian. Sementara itu sekitar 20 persen sisanya, menguasai lebih dari 50 persen keseluruhan lahan pertanian (petani berlahan luas). Menilik sejarah perkembangannya, di Indonesia telah terjadi pergeseran pola pengusahaan lahan ke arah yang lebih intensif sebagai imbas adopsi teknologi di bidang pertanian, yang relatif berbeda antar agroekosistem, jenis komoditas, dan wilayah. Terjadi penyusutan lahan pertanian produktif akibat pesatnya perkembangan pembangunan di berbagai sektor ekonomi yang menuntut ketersedian lahan dan sarana prasarana yang memadai. Kondisi ini terutama terjadi di Jawa, mengestimasikan rata-rata 23.100 hektar per tahun lahan di Jawa terkonversi ke penggunaan di luar pertanian. Gejala marjinalisasi petani dan kemunduran perekonomian pedesaan menjadi sulit dielakkan. Distribusi pemilikan dan pengusahaan lahan yang diindikasikan mengalami polarisasi. Status petani didominasi oleh pemilik penggarap (39,7%-55,3%), penggarap (26,1%-31%), dan pemilik (18,6%-29,2%) (kasus di Kabupaten Indramayu). Juga ditemukan fenomena terjadinya ketimpangan struktur penguasaan lahan (kasus lahan irigasi teknis di Desa Limpas, Kecamatan Anjatan), dimana 60 persen dari sekitar 455 ha lahan sawah dikuasai oleh satu keluarga (7 KK bersaudara). Dengan demikian, tulisan ini bertujuan memahami fenomena metamorphosis petani melalui pemberdayaannya sebagai bentuk keberpihakan pada masyarakat petani di pedesaan yang terpinggirkan
. Pemahaman dilakukan melalui deskripsi berbagai konsep perubahan arti/bentuk (metamorphosis) petani, pemberdayaan dan yang terkait dengan ekonomi kerakyatan. Di samping itu dilakukan pengkajian deskriptif berbagai bentuk pengaruh ekonomi kapitalis yang sangat berbeda terhadap suatu konsep ekonomi kerakyatan itu sendiri. Terdapatnya link (”benang merah”) di antara berbagai konsep tersebut secara sosiologis diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam mengkaji dan menyusun program kebijakan pembangunan, khususnya sektor pertanian di pedesaan.
Dalam proses pembangunan pertanian (seperti revolusi hijau), dalam konteks sosiologi pedesaan, petani sebagai “wong cilik” malah sesungguhnya tidak terlibat, karena revolusi hijau justru ‘meninggalkan’ kaum petani. Dengan pendekatan teori dependensi, terbukti bahwa telah terjadi proses ketergantungan petani terhadap pupuk sebagai dampak dari program pemupukan intensif dan pemakaian bibit unggul dalam program Bimas, Insus sampai Supra-Insus, sehingga terjadi penurunan (keterbelakangan) penghasilan petani. Dalam hal ini, bisa jadi petani hanya merupakan korban pembangunan pertanian tersebut. Meski demikian, tidak dipungkiri bahwa di sisi lain, terdapat berbagai dampak positif revolusi hijau, dimana program tersebut setidaknya berusaha melibatkan petani kecil yang diupayakan agar mampu mengadopsi berbagai program pembangunan pertanian. Bahkan proporsi terdasar yang hendak dijangkau
adalah petani dengan luasan lahan < 0,5 ha.
Sementara itu, proses polarisasi yang sangat cepat yang dialami masyarakat petani disebut White sebagai proses eksploitasi (penghisapan) dari golongan kapitalis terhadap masyarakat di bawahnya. Petani, dari segi ekonomi, dilihat berdasarkan kemampuan mereka untuk dapat menghasilkan pendapatan berdasarkan sekian liter beras. Dari segi struktur sosial, petani merupakan kelompok masyarakat dengan klasifikasi paling bawah, seperti juga halnya para nelayan. Hal ini turut dipacu oleh pertumbuhan populasi (angkatan kerja, migrasi) dan perkembangan teknologi, akhirnya menempatkan kaum petani pada posisi yang lemah. Penetrasi ekonomi kapitalis ke pedesaan berupa penerapan teknologi modern dan sistem pasar yang mengutamakan efisien serta perubahan nilai ekonomi lahan, menyebabkan tingginya konversi tanah dari pertanian ke non-pertanian. Hal ini mengakibatkan hilangnya kesempatan bertani bagi sebagian besar buruh tani, serta semakin longgarnya ikatan-ikatan sosial yang terjalin dalam masyarakat pedesaan. Dampak sosiologis lain ekonomi kapitalis tersebut mempengaruhi tujuan produksi petani, strategi, nilai dan norma, serta orientasi hidup, bahkan kemungkinan untuk terjadinya proses depeasantisasi akibat makin merebaknya iklim konsumtif yang merambah hingga ke pedesaan.

METAMORPHOSIS: DIMENSI DAN PERUBAHAN STRUKTUR SOSIAL PETANI
Petani di Indonesia mayoritas merupakan petani kecil dengan penguasaan dan
pengusahaan lahan yang relatif sempit (< 0,25 ha). Keterbatasan tersebut pada dasarnya
bercirikan antara lain: (1) sangat terbatasnya penguasaan terhadap sumberdaya; (2) sangat menggantungkan hidupnya pada usahatani; (3) tingkat pendidikan yang relatif rendah; dan (4) secara ekonomi, mereka tergolong miskin. Sebagai masyarakat mayoritas yang hidup di pedesaan, petani merupakan masyarakat yang tidak primitif, tidak pula modern. Masyarakat petani berada di pertengahan jalan antara suku-bangsa primitive (tribe) dan masyarakat industri. Mereka terbentuk sebagai pola-pola dari suatu infrastuktur masyarakat yang tidak bisa dihapus begitu saja. Dari perjalanan sejarah, kaum
petani pedesaan (peasantry) memiliki arti penting karena di atas puing-puing merekalah masyarakat industri dibangun. Mereka mendiami bagian “yang terbelakang” (di masa kini) dari bumi ini. Masyarakat petani di pedesaan dipandang sebagai fenomena (yang jelek) dan memperlakukannya sebagai agregat-agregat tanpa bentuk, tanpa struktur, masyarakat tradisional, serta mencap mereka sebagai manusia-manusia yang ‘terikat tradisi’ (kebalikan dari ‘modern’). Masyarakat luar desa, pertama-tama memandang kaum petani pedesaan sebagai satu sumber tenaga kerja dan barang yang dapat menambah kekuasaannya (fund of power). Padahal kenyataannya, petani juga merupakan pelaku ekonomi (economic agent) dan kepala rumah tangga; dimana tanahnya merupakan ‘satu unit ekonomi dan rumah tangga. Masyarakat petani sebagai masyarakat tradisional. Konteks ini hendaknya dinilai bukan semata-mata sebagai ‘sumberdaya peng-usahatani-an’ atau ‘buruh tani’ yang punya ‘nilai tukar’, penghasil ‘nilai tambah’, tetapi seharusnyalah diakui sebagai manusia, yang berpeluang untuk mendidik diri (‘rekayasa’ diartikan sebagai upaya membina hak-hak azasi manusia). Sistem ekonominya disebut ”sistem usahatani keluarga”. Petani tidak homogen, melainkan ada yang kaya, menengah, gurem, serta bersifat dinamis. Pada masa kini petani merupakan masyarakat yang memiliki kemampuan mengadopsi perkembangan teknologi pertanian. Hal ini terlihat pada perkembangan agribisnis komoditi pertanian, seperti hortikultura, perkebunan rakyat (kopi, coklat, panili, dan lain-lain), dan peternakan komersial salah satunya melalui program integrated farming system. Keadaan tersebut dicapai berkat perkembangan sarana dan prasarana infrastuktur yang mendukung makin terbukanya akses petani terhadap teknologi pertanian dan kebutuhan pasar modern. Akses petani di pedesaan juga sudah terbuka melalui perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi yang sudah mencapai pelosok pedesaan. Dalam perekonomian petani dinyatakan unsur-unsur biaya produksi tidak dapat diperbandingkan dengan yang terdapat dalam perekonomian kapitalis. Oleh karena itu, cara penghitungan laba tidak dapat sepenuhnya diterapkan pada perekonomian petani.
Masalah petani adalah fakta yang menarik, sebab mencari keseimbangan antara tuntutan dunia luar dan kebutuhan petani akan berlangsung selamanya; dimana hasil yang mereka peroleh adalah dari seluruh tahun kerja, bukan dari hari kerja (unit kerja). Aliran Marxian melihat akses perekonomian dan pemilikan sumberdaya petani dengan mengkategorikan atas petani kaya dan petani miskin.
Apalagi perkembangan teknologi di masa sekarang yang telah membuat akses ke luar daerah semakin terbuka dan tidak lagi bersifat otonom. Dengan demikian, para petani yang hidup dan bermukim di desa dimungkinkan untuk dapat tinggal di luar desanya (migrasi). Pengkajian mengenai petani, tidak lagi terbatas hanya dalam lingkupnya sebagai komunitas petani dengan tanah (pertanian) dan tenaga kerja sebagai faktor produksi belaka. Meluasnya cakupan pembahasan petani sehingga nelayan dan peternak termasuk dan dianggap pula sebagai peasant society.
Perbedaannya terletak pada ekologi ekosistem tempat petani berusaha, sehingga terdapat perbedaan bentuk dan pola hubungan dan interaksi, namun tidak berbeda jauh dengan realitas sosial dari aspek struktur sosial dan nilai kultural. Dalam komunitas nelayan dan peternak, juga terdapat pola hubungan patronklien, nilai subsistensi dan subordinasi kelas.


1 komentar: