Minggu, 27 November 2011

gender dan kekerasan


Ketidakadilan Wanita Dalam Masyarakat Yang Berimbas Pada Kekerasan
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan-penderitaan pada perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam lingkungan. Seringkali kekerasan pada perempuan terjadi karena adanya ketimpangan atau ketidakadilan gender.  Ketimpangan gender adalah perbedaan peran dan hak perempuan dan laki-laki di masyarakat yang menempatkan perempuan dalam status lebih rendah dari laki-laki.  “Hak istimewa” yang dimiliki laki-laki ini seolah-olah menjadikan perempuan sebagai “barang” milik laki-laki yang berhak untuk diperlakukan semena-mena, termasuk dengan cara kekerasan.
 Kemiskinan  menjadi permasalahan  krusial yang dihadapi oleh semua negara di dunia, lebih-lebih di negara yang sedang berkembang seperti halnya Indonesia. Sampai  tahun 2009, BPS memperkirakan hampir 17,4 % dari total penduduk Indonesia masih  hidup dalam kondisi miskin.  Sampai  bulan Mei 2009 jumlah rumah tangga miskin yang ada di Bali mencapai 17,9% ( BPS, 2009).  Kondisi ini menggambarkan bahwa kemiskinan merupakan masalah sosial baik di tingkat nasional maupun regional yang perlu mendapatkan penanganan yang serius dari semua elemen masyarakat. Ada pandangan di kalangan ilmuwan sosial bahwa kemiskinan sebenarnya tidak lahir dengan sendirinya dan  juga bukan muncul tanpa sebab, tetapi kondisi ini banyak  dipengaruhi oleh struktur  sosial, ekonomi dan politik. Jon Sobrino (1993)  menelaah keberadaan orang miskin sebagai rakyat yang tertindas dalam dua perspektif. 
Pertama pada tataran faktual, kemiskinan pada masyarakat yang sedang berkembang ternyata tidak hanya menyebabkan penderitaan yang tak berkesudahan, melainkan juga kematian manusia sebelum waktunya. Penindasan sistimatis dan konflik bersenjata telah memperburuk situasi mereka yang tertindas.  Kedua pada tataran historis-etis, penderitaan kaum miskin dan tertidas  itu disebabkan  oleh struktur-struktur yang tidak adil baik di tingkat lokal maupun global yang lebih jauh telah menghasilkan 3 kekerasan yang melembaga (institutionalized violence) dan korbannya pertama-tama adalah mereka yang miskin ( Cahyono, 2005; 9).
Tindak kekerasan pada wanita merupakan masalah sosial yang serius, akan tetapi kurang mendapat tanggapan dari masyarakat dan para penegak hukum. Perspektif gender beranggapan tindak kekerasan terhadap wanita dapat dipahami melalui konteks sosial.  Menurut Berger (1990), perilaku individu sesungguhnya merupakan produk sosial, dengan demikian nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat turut membentuk perilaku individu artinya apabila nilai yang dianut suatu masyarakat bersifat patriakal yang muncul adalah superioritas laki-laki dihadapan perempuan, manifestasi nilai tersebut dalam kehidupan keluarga adalah dominasi suami atas istri
.
Mave Cormack dan Stathern (1990) menjelaskan terbentuknya dominasi laki-laki atas perempuan ditinjau dari teori nature and culture.  Dalam proses transformasi dari nature ke culture sering terjadi penaklukan.  Laki-laki sebagai culture mempunyai wewenang menaklukan dan memaksakan kehendak kepada perempuan (nature).  Secara kultural laki-laki ditempatkan pada posisi lebih tinggi dari perempuan, karena itu memiliki legitimasi untuk menaklukan dan memaksa perempuan.  Dari dua teori ini menunjukkan gambaran aspek sosiokultural telah membentuk social structure yang kondusif  bagi dominasi laki-laki atas perempuan, sehingga mempengaruhi perilaku individu dalam kehidupan berkeluarga.Sebagian besar perempuan sering bereaksi pasif dan apatis terhadap tindak kekerasan yang dihadapi.  Ini memantapkan kondisi tersembunyi terjadinya tindak kekerasan pada istri yang diperbuat oleh suami.  Kenyataan ini menyebabkan minimnya respon masyarakat terhadap tindakan yang dilakukan suami dalam ikatan pernikahan.  Istri memendam sendiri persoalan tersebut, tidak tahu bagaimana menyelesaikan dan semakin yakin pada anggapan yang keliru, suami dominan terhadap istri.  Rumah tangga, keluarga merupakan suatu institusi sosial paling kecil dan bersifat otonom, sehingga menjadi wilayah domestik yang tertutup dari jangkauan kekuasaan publik.

A.    LANDASAN TEORI
1.      Teori Gender
Konsep yang penting yang harus dipahami dalam rangka membahas masalah kaum perempuan adalah membedakan antara konsep seks (jenis kelamin) dan konsep gender. Hal ini karena adanya ketidakadilan gender dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara lebih luas. Dengan demikian pemahaman dan pembedaan yang jelas antara konsep seks dan gender sangat diperlukan dalam membahas ketidakadilan social. Maka yang sesungguhnya terjadi keterkaiatan antara persoalan ketidakadilan sosial lainnya. Pengungkapan masalah kaum perempuan dengan menggunakan analisis gender sering menghadapi perlawanan, baik dari kalangan kaum laki-laki bahkan perempuan itu sendiri, analisis gender sering ditolak oleh mereka yang melakukan kritik terhadap sistem soosial yang dominan seperti kapitalis.
2.      Teori Sosiologi Keluarga
 Keluarga adalah salah satu faktor utama dalam pembentukan kondisi sosial pada individu meskipun ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi. Dalam kondisi ini segala aspek masyarakat yang mempengaruhi system kekerabatan hingga pola asuh pada anak serta pandangan tentang seorang perempuan yaitu istri pada keluarga dapat dilihat secara lebih mendalam dan terbuka. Menurut Scanzoni dan Scanzoni (1981) hubungan suami istri dapat dibedakan menurut pola perkawinan. Pada pola perkawinan owner properity istri adalah milik suami sama seperti uang atau barang berharga lainnya. Tugas suami mencari nafkah dan istri menyediakan makanan untuk suami dan anak-anaknya.
Selain system kekerabatan yang perlu dipahami adalah jaringan sosial yang berpatokan dan dipilah menurut grnder. Seperti dikemukakan oleh Hartman (1986) suatu keluarga tidak selalu dapat dikonseptualisasikan sebagai sebuah “unified interest group”. Alasannya, karena adanya kepentingan internal yang berbeda, antara laki-laki dan perempuan sesame anggota keluarga tersebut, bahkan juga diantara suami dan istri. Oleh karena itu Dwiyer (1992) menyarankan agar dalam melakukan kajian keluarga dipilah menurut gender.
3.      Teori Kekerasan Struktural
Dari semua teori kekerasan, teori' "kekerasan struktural" dari Johann Galtung, seorang kriminolog dari Norwegia dan seorang polemolog, adalah teori yang bertalian dengan kekerasan yang paling menarik. Dalam pengulasan dan penganalisaan lebih lanjut bahwa teori kekerasan struktural pada hakekatnya adalah teori kekerasan "sobural". Dengan "sobural" di maksudkan suatu akronim dari (nilai-nilai) sosial, (aspek) budaya, dan (faktor) struktural (masyarakat). Dengan "kekerasan struktural" dimaksudkan kekerasan tidak langsung, yang bukan berasal dari orang tertentu, tetapi yang telah terbentuk dalam suatu sistem sosial tertentu. Jadi bila  berkuasa atau memiliki harta kekayaan berlimpah, maka akan selalu ada kecenderungan untuk melakukan kekerasan, kecuali kalau ada hambatan yang jelas dan tegas.
Bentuk kekerasan struktural yang boleh dapat dikatakan untuk pertama kali, adalah kekerasan fisik. Menurut Turpin dan Kurtz (1997 : 2) : "Understanding human violence is one of the central tasks of our time, yet we still know very little about it" . Masyarakat kita yang begitu pluralistik dalam hampir seluruh way of life, dengan kadar penggunaan kekerasan struktural secara berbeda, yang pada dasarnya berakar juga dalam kekerasan (kultural) meskipun sudah disiram dengan ajaran agama yang pada dasarnya tidak ingin menggunakan kekerasan, sayangnya, membenarkan penggunaan kekerasan juga atas nama agama itu sendiri. 
4.      Teori Sosiologi Budaya
Dari hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Julia Cleves Mosse (1996) ditemukan bahwa kebanyakan masyarakat di dunia memberikan sambutan yang berbeda atas kelahiran anak laki-laki. Bangunan mitos sosial telah membatasi ruang gerak pilihan hidup kaum perempuan, dan muaranya adalah timbul “hukum tak tertulis” bahwa aktivitas yang berada diluar area dapur dan pengasuhan anak dianggap sebagai aktivitas yang tak layak bagi perempuan
5.      Teori Perubahan Sosial
Dalam membicarakan pergeseran kedudukan dan peranan wanita, tidak terlepas dari perubahan sosial dan struktur dan fungsinya. Selo Sumardjan (1962; 379) menyatakan bahwa peruahan sosial itu adalah perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan, yang mempengaruhi system sosialnya, termasuk nilai-nilai, sikap-sikap dan pola perilaku diantara kelompok-kelompoknya. Wanita membuktikan bahwasanya suatu perubahan kedudukan dan peranan wanita di masyarakat adalah suatu proses dimana wanita memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki.
Peran serta seorang wanita memiliki fungsi yang setara dengan kaum laki-laki. Perubahan jaman menyebabkan perubahan kepribadian seorang wanita. Biasanya dimulai dari irama kehidupan yang tidak sesuai lagi dengan kodrat wanita. Misalnya: (1) banyak wanita yang mulai kehilangan waktu bersama anak-anak; (2) waktu untuk suami terganggu karena faktor kelelahan dan problem pekerjaan, sehingga harmonisasi keluarga juga ikut terganggu, dan lain sebagainya. Hal demikian itu diungkapkan oleh Asi S Dipodjojo.
6.      Teori Konflik
Teori- teori ini berpendapat bahwa manusia juga dibatasi oleh kemudahan yang dia miliki posisinya dalam struktur  ketidaksetaraan dalam masyarakat mereka. Ini menekankan penagruh perilaku dalam distribusi kemudahan yang tidak merata yang dalam masyarakat biasanya dikaitkan dengan teori struktural-konflik. Ada beragam struktur ketidaksetaraaan dimasyarakat. Kelompok etnik tidak setara, muda dan tua mungkin tidak setara, laki-laki dan perempuan mungkin tidak setara, orang yang berbeda agama mungkin tidak setar dan seterusnya. Berbeda dengan berbagai pusat perhatian teori konflik berbasis ketidaksetaraan, bermacam kemudahan yang mereka anggap tidak merata. Disebut teori konflik demikian karena bagi teori-teori ini, yang melekat pada masyarakat tidak setara adalah konflik kepentingan yang tak terhindarkan.
7.      Teori Peranan sosial
Peranan sosial adalah suatu perbuatan seseorang dengan cara tertentu dalam usaha menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan status yang dimilikinya. Seseorang dapat dikatakan berperanan jika ia telah melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan status yang dimilikinya dimasyarakat. Ciri pokok yang berhubungan dengan istilah peranan sosial adalah terletak pada adanya hubungan-hubungan sosial seseorang dalam masyarakat yang menyangkut dinamika dari cara-cara bertindak dengan berbagai norma yang berlaku di dalam masyarakat. Peranan sosial seseorang lebih banyak menunjukkan suatu proses dari fungsi dan kemampuan mengadaptasi diri dalam lingkungan sosialnya.
8.      Teori Tindakan
Tindakan adalah segala aspek yang memiliki makna dibalik perlakuan atau kegiatan meskipun pelaku tidak berbuat atau melakukan sesuatu yang bermakna kepada orang lain  cakupan secara luas. Weber menyatakan ada dua macam teori tindakan mulai dengan memperkenalkan “makna” sebagai konsep teori tindakan dasar dan menggunakannya untuk membedakan tindakan dari perilaku yang dapat diamati. “ Perilaku manusia apakah internal atau eksternal, aktivitas, tidak berbuat atau pasif mengikuti sesuatu yang terjadi akan disebut “tindakan” jika dan selama actor melekat makna subjektif kepada perilaku tersebut.

B.     Gender Dalam Prespektif  Sosial Dan Ketidakadilan Wanita Di Masyarakat
Gender atau hubungan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu dapat berbeda disebabkan karena adanya perbedaan adat istiadat, budaya, agama dan system nilai dari masyarakat atau bangsa dilingkungan masing-masing. Dengan demikian dapat dipahami secara jelas bahwa konsep gender adanya pemahaman pandangan masyarakat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peran serta di kehidupan adalah suatu konsep yang sangat mendominasi kaum laki-laki yang menganggap bahwa kaum laki-laki adalah seorang yang memiliki strata lebih tinggi dibandingkan kaum wanita. Hal ini menimbulkan paradigma masyarakat bahwasanya kaum laki-laki memiliki hak penuh terhadap kaum wanita akibatnya adanya penindasan baik secara fisik maupun moral. Dalam kehidupan dapat dijumpai kasus penindasan terhadap perempuan baik secara fisik maupun moral. Sejak jaman revolusi di eropa banyak sekali kumpulan wanita yang menuntut haknya untuk disetarakan pada kaum laki-laki.  
Dampak terhadap tuntutan tersebut bermakar di Indonesia yaitu dengan jelas adanya emansipasi kaum wanita yang dipelopori oleh R.A Kartini. Jika hal tersebut terjadi, maka masing-masing bagian berusaha secepatnya menyesuaikan diri untuk mencapai keseimbangan kembali. Aliran fungsionalisme structural adalah arus utama dalam ilmu sosial yang dikembangkan Robert Merton dan Talcott Parsons, teori ini memang tidak langsung menyinggung masalah perempuan. Teori ini memang menolak adanya persamaan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Pengaruh fungsionalisme tersebut dapat kita temui dalam pemikiran Feminisme Liberal. Aliran ini muncul sebagai kritik terhadap teori politik liberal yang pada umumnya menjunjung tinggi otonomi, persamaan dan nilai moral serta kebebasan individu, namun pada saatnya mendiskriminasi kaum perempuan
Kehidupan masyarakat dapat dikatakan sebagai system sosial oleh karena didalam masyarakat terdapat unsur-unsur system sosial yang jelas dan terperinci. Dalam kehidupan bermasyarakat ada situasi dan kondisi masyarakat dimana ada peran dan peranan bagi setiap individu di masyarakat. Dalam hal ini membahas secara lebih jelas tentang peran serta seorang wanita di masyarakat. Wanita atau perempuan sesungguhnya memiliki hak dan kewajiban yang sama dimasyarakat tetapi dalam kehidupan masyarakat pandangan ini tidak lagi dianggap sebagai suatu kesetaraan peran antara kaum laki-laki dan perempuan. Bahkan antara laki-laki dan perempuan dimata masyarakat sangat jauh berbeda dalam status sosialnya.
Gender hanyalah pandangan masyarakat yang dibuat masyarakat dan diaplikasikan pada masyarakat itu sendiri. Gender akan berubah peran dimana kita bertempat tinggal, banyak contoh kasus gender yang terjadi pada dewasa ini. Dalam hal ini wanita adalah korban ketidakadilan tentang pengelompokan gender. Wanita dianggap sebagai penghambat mobilitas status atau peran yang melekat dimasyarakat. Ujung dari perbedaan gender adalah kekerasan pada wanita yang seharusnya wanita dilindungi dan dikasihi, tetapi hal ini berubah peran mejadi tindakan kriminalitas yang ada pada masyarakat saat ini kekerasan sudah sangat ekstrim bahkan menjijikan karena sebagian korban terjadi pada kaum wanita.
Dalam pembahasan ini masalah ketidakadilan wanita di masyarakat adalah sebuah kondisi dimana seorang wanita yang menuntut hak dan kewajiban yang sudah ada dalamkehidupan bermasyarakat. Sebagai wanita dapat bernapas lega karena sejauh ini keadilan wanita pada masyarakat sudah mengalami peningkatan dibandingkan dengan jaman dahulu, dimana seorang wanita tidak diperbolehkan melakukan aktifitas yang sejajar dengan kaum laki-laki karena masyarakat beranggapan tidak pantas bahkan dianggap masih tabu. Tapi hal tersebut lambat laun sudah luntur karena dorongan dari berbagai kalangan atau pihak yang berperan serta dalam memperjuangkan suatu hak dan kewajiban yang setara dengan kaum laiki-laki. Sebagai pembanding antara kondisi masyarakat yang dahulu dan sekarang, dapat terlihat dari aspek sosial ekonomo dan politik. Seorang wanita yang bekerja diluar rumah pada jaman dahulu dianggap sebagai bentuk pelanggaran norma didalam masyarakat. Tetapi hal ini sudah tidak berlaku kembali pada era globalisasi karena perubahan jaman dan bentuk perlawanan serta kesadaran akan kesetaraan hak dan kewajiban pada masyarakat yang sama tanpa memandang jenis kelamin.

C.    Peran Ganda Seorang Wanita Dalam Kehidupan  Yang Memunculkan Pelbagai Masalah Sosial
Seorang wanita memiliki peran dalam masyarakat yaitu peran untuk mendidik, mengajar, mengarahkan dan membimbing anak-anaknya, juga mengabdi kepada suami dan masih banyak lagi tugas seorang perempuan dikaca mata masyarakat yang sudah mendoktrin dikehidupan. Selain itu peran yang sudah menjadi doktrin di masyarakat ada masalah lain yang ingin di ungkapakan oleh sebagian wanitra dewasa ini yaitu, kesetaraan antara tugas wanita dan laki-laki yaitu sama-sama mengarahkan anak-ankanya kehal-hal yang baik (dalam prespektif keluarga). Yang kedua wanita berperan sebagai laki-laki yaitu laki-laki identik dengan maskulin, tangguh, perkasa, bijak, dan pantang menyerah dan yang paling penting bertugas mencari nafkah. Perempuan juga bisa melakukan hal tersebut hanya saja porsinya yang sedikit berbeda. Contoh konkrit perempuan pada jaman modern ini banyak kita jumpai yang bekerja sebagai kuli panggul di pasar hal ini mencdrminkan tidak adanya ketimpangan gender pada masyarakat sekitar. Perlakuan sama pada perempuan atau laki-laki jika sudah menyangkut tentang tatanan dan tantangan hidup yang sebenarnya. Masyarakat terkadang kurang jeli dengan kondisi yang ada, ketidakadilan pada perempuan sering dianggap sesuatu hal yang lumrah karena perempuan hanya dianggap sebagai pembantu dalam rumah tangga.
Peran ganda seorang wanita adalah cakupan dari berbagai kondisi masyarakat yang memiliki nilai yang sangat disadari oleh berbagai kalangan dan segala aspek di masyarakat juga oleh wanita itu sendiri, dari berbagai aspek contoh aspek agama, sosial, budaya, pendidikan dan segala aspek yang berada pada masyarakat. Peran seorang wanita memiki peran ganda juga sebagai wanita dan sebagai seorang laki-laki tanpa harus memperdulikan gender. Giligan (1992,1993) lebih melihat bahwa aspek ‘feminis’ yang dipunyai oleh perempuan justru disitulah letak kekuatan perempuan. Dalam arti positif, tentunya dengan tujuan yang baik. Tidak harus dihindari tetapi diperankan pada saat yang tepat. Maka sekali lagi bahwa pengembangan ego yang selalu menghubungkan id dan superego, harus berjalan “terkondisi- reflektoris”. Artinya bahwa berpikir dan mengatur strategi dalam kehidupan perempuan harus secara rasional, sehingga mendapatkan hal yang dipilihnya adalah tepat dan tidak perlu merasa rendah diri dengan sesuatu yang telah dipilihnya. Kemampuan teori ‘peran’ dinyatakan dalam dunia kedokteran yang dikenal pembedaan perilaku perempuan terhadap lelaki, yaitu disebut psychoseksual differentiation, yang mengikuti pola (Wilson & Foster 1992).

D.    Kekerasan Pada Wanita Cakupan Secara Luas
Kekerasan atau “violence” adalah gabungan dua kata latin “vis” (daya atau kekuatan) dan “latus” berasal dari kata ferre yang berarti membawa. Kekerasan menurut  Galtung adalah “any avoidable impediment to self realisatin” (Mohtar Mas’ud, dkk, 2005:5) yang maksudnya “Kekerasan adalah segala sesuatu yang menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara wajar”. Berdasarkan konsep tersebut jelas bahwa kekerasan selalu berhubungan dengan tindakan atau perilaku kasar, mencemaskan, menakutkan dan selalu menumbulkan dampak (efek) yang tidak menyenangkan baik secara fisik, psikis maupun sosial.  Dapat terperinci dari contoh artikel berikut ini:
Kekerasan pada wanita sebuah pandemik tersembunyi
Oleh : César Chelala Kamis, 25 Maret 2010
“Bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan perilaku yang dianggap diterima di banyak negara, tapi itu tidak mengurangi bahaya atau dampak negatifnya pada kesehatan fisik dan mental perempuan di seluruh dunia. Rasa sakit terus menerus di seluruh dunia - walaupun pengukuran kemajuan sosial  lain - dengan jelas mengindikasikan kebutuhan untuk menghadapinya dengan kebijakan-kebijakan yang lebih efektif. Beberapa studi yang dilakukan di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa setiap tahun sekitar 4 juta perempuan diserang secara fisik oleh suami atau pasangan mereka.Di setiap negara, dimana telah dilakukan penelitian yang dapat diandalkan, statistik menunjukkan bahwa antara 10 persen dan 50 persen perempuan melaporkan bahwa mereka telah disiksa secara fisik oleh pasangan intim selama masa hidup mereka.
Ada beberapa bentuk yang kekerasan terhadap perempuan, tapi jumlahnya dapat mengejutkan. Menurut Kementerian Kesehatan Meksiko, sekitar satu dari tiga wanita menderita kekerasan rumah tangga, dan akibatnya diperkirakan lebih dari 6.000 perempuan meninggal di Meksiko setiap tahun. Menurut studi 2006 tentang perempuan di Mexico, yang disponsori oleh pemerintah (Encuesta Nacional sobre la Dinámica de las Relaciones en los Hogares 2006), 43.2 persen perempuan dengan usia lebih dari 15 tahun telah menjadi korban dari beberapa bentuk kekerasan di dalam keluarga selama hubungan terakhir mereka.Kekerasan dalam rumah tangga juga tersebar luas di banyak negara Afrika. Di Zimbabwe, menurut laporan PBB, itu menyumbang lebih dari enam dalam sepuluh kasus pembunuhan di pengadilan. Noeleen Heyzer, mantan direktur eksekutif UNIFEM, telah menyatakan, "Kekerasan terhadap perempuan menghancurkan kehidupan orang, fragmen masyarakat, dan menghalangi negara-negara untuk berkembang." (EpochTimes/khl).

Kasus diatas yang dialami perempuan di dunia yaitu karena adanya kekerasan yang sebagian besar terjadi karena adanya ketidaksetaraan kondisi sosial akibatnya kaum laki-laki melampiaskan segala emosi pada wanita yang kodrat fisik tidak bisa  melebihi kekuatan seorang laki-laki.Kekerasan pada perempuan sebagian besar terjadi pada keluarga yang memilki background kasus sosial ekonomi, himpitan ekonomi yang sering melatar belakangi masalah kekerasan. Wanita terkadang sebagai pemuas emosi yang ditimbulkan oleh kesenjangan suatu kondisi keluarga, segi psikologis seorang laki-laki bertindak sebagai subjek dan wanita sebagai objek yang senantiasa selalu ada jika subjek membutuhkan objek tersebut.
Tindakan yang bermakna menimbulkan kekerasan kepada objek tersebut seharusnnya ada pengendali sosial di masyarakat tetapi sejauh ini perlindungan akan hak seorang wanita belum semuannya berjalan dengan apa yang di inginkan oleh sebagian penuntut hak wanita itu. Perubahan demi perubahan sosial yang akan menjawab pertanyaan itu, bahwasanya seorang wanita tidak hanya menggantungkan hidup kepada seorang laki-laki tetapi seorang wanita pada dewasa ini sudah mengalami peningkatan yang signifikan. Emansipasi wanita adalah sebuah kondisi pemberontakan akan segala macam kekangan yang pada abad dahulu.


E.     Solusi
1.            Ketidakadilan gender pada masyarakat
Sudah waktunya perempuan dan laki-laki di Indonesia memiliki hak yang sama disegala bidang. Sama-sama berfungsi sebagai pengatur rumah tangga, sebagai tenaga kerja di segala bidang dan sebagai pendidik anak. Mungkin hal ini juga sudah dimulai di beberapa keluarga dari golongan tertentu tetapi jelas belum secara proporsional dan memasyarakat. Dengan tercapainya kondisi ini diharapkan terjalin hubungan lebih harmonis bagi perempuan dan laki-laki di Indonesia. Perempuan juga harus dapat mempunyai kesempatan memilih dan meraih posisi yang sejajar dengan laki-laki di mayarakat. Untuk mewujudkan kondisi ini mau tidak mau kaum perempuan Indonesia harus sadar bahwa selama ini konsep yang berlaku adalah konsep yang berorientasi gender yang membuat membedakan peran antara perempuan dan laki-laki di Indonesia, padahal konsep ini menghambat kesempatan mereka. Kesadaran kaum perempuan Indonesia saat ini sangat dibutuhkan untuk dapat meningkatkan kondisinya di bidang kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan bidang yang lain. Sudah saatnya pula kaum perempuan Indonesia dapat membuat keputusan bagi dirinya sendiri tanpa harus dibebani konsep gender. 
2)     Kuota Diberbagai Aspek 
Mengantisipasi  kuota pada segala aspek yang bertujuan agar para wanita yang ingin masuk dalam dunia politik, sosial, pemerintah dan segala aspek yang mengidentikan wanita sebagai subordinat  dapat dengan mudah masuk dan ikut berpartisipasi. Logikannya wanita di Indonesia lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki, sehingga jika wanita diperdayakan sumber  daya manusiannya akan lebih efektif dan efisien sebab wanita memilki beberapa kelebihan yang dilihat di aspek feeling, jaga dari ketelatenan dan ketrampilan yang lebih jeli karena beground dari seorang yang memiliki kesabaran yang lebih di banding dengan laki-laki. Selain itu juga didukung oleh faktor dari diri sendiri dari para wanita itu sendiri agar mereka lebih maju dan setara diberbagai aspek
F.     KESIMPULAN
Setelah dipahami dan di paparkan secara lebih dalam dapat disimpulkan bahwa ada suatu fenomena dan fakta tentang kehidupan perempuan dalam kehidupan. Perempuan masih dianggap sebagai makluk yang dinomor duakan dengan istilah lain subordinasi perempuan dalam berbagai bidang meskipun pada dewasa ini sudah mengalami banyak perubahanan yang signifikan.  Masyarakat masih menganggap Gender adalah faktor utama yang membedakan antara kaum laki-laki dan perempuan, pandangan semacam itu sulit di ubah atau dihilangkan karena hal itu sudah melekat sejak jaman dahulu yang didukung oleh beberapa argumen, akibatnya korban dari pandangan yang salah itu memunculkan berbagai masalah sosial dalam masyarakat.
Perempuan adalah salah satu korban yang nyata, selain sebagai korban citra diri yang dimiliki oleh perempuan tidak akan bisa terpisahkan sampai kapanpun. Kekerasan pada perempuan akibat ketimpangan gender yang selama ini diperdebatkan oleh berbagai kalangan. Perempuan yang tertindas akan haknya menuntut akan hak dan kewajiban oleh publik, akibatnya marak terjadi emansipasi perempuan yang bersumber dari rasa senasib sepenaggungan oleh para perempuan itu sendiri. Perempuan dalam kehidupan nyata memiliki peran ganda yaitu sebagai perempuan dan sebagai laki-laki, yang memiliki tugas serta kewajiban yang sama dengan seorang laki-laki maka seyogyanya masyarakat tidak menomorduakan seorang wanita, bahwasannya seorang wanita adalah makluk yang kuat dan tangguh.

G.    SARAN
Bagi para pembaca diharapkan agar lebih peduli terhadap fenomena yang ada pada masyarakat tentang ketidakadilan serta ketidaksetaraan perempuan, juga agar lebih memandang secara luas tentang ketidaksetaraan gender juga memahami cara penanggulangan masalah-masalah sosial yang ada pada masyarakat yang menyangkut gender. Bagi pemerintah diharapkan lebih peduli akan perlindungan pada perempuan yang menjadi korban kekerasan yang saat ini marak dibicarakan dan secara konkrit sudah terbukti adanya masalah sosial yang menyangkut perlindungan perempuan. Serta adanya perlindungan hukum bagi korban serta sanksi bagi para pelaku korban kekerasan terhadap perempuan yang kurang bertanggung jawab. Dan bagi para masyarakat agar memahami secara luas serta mencerna lebih luas akan gender bahwasanya gender bukanlah pembedaan antara kaum laki-laki dan perempuan tetapi gender hanya pensifatan yang dibuat oleh masyarakat dan dilakukan oleh masyarakat itu sendiri sehingga adanya perbedaan yang mencolok antara lai-laki dan perempuan.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan. 2001. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, Refika Aditama: Bandung

Chelala, Cesar. 2010. Artikel Kekerasan Wanita sebuah pandemik tersembunyi. http://google.com

Craib, Ian. 1992. Modern Social Theory, ed. Ke-2. Harvester-Wheatsheaf

Fakih Mansur. 1997. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Hakimi, Moehammad. 1995, Laporan Konferansi Dunia ke 4 tentang Perempuan , di Beijing

Julia Cleves Mosse, 2002, Gender dan Pembangunan, Pustaka Pelajar offset: Yogyakarta

Juliana Ari, 2001, Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan, Jurnal Studi Indonesia Volume 2, Nomor 2

Kultur Nir-Kekerasan Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) Univ. Muhammadiyah Malang

Max Weber, Uber einige Kategorien der versstehenden Soziologi,”dalam Methodologische Schriften, L. Winncklmann, ed., (Frankfrut, 1968)

Mulkam. Abdul Munir, dkk, 2002 Membongkar Praktik Kekerasan, Menggagas UU nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Rachmad Safaat, (ed). 1998. Buruh Perempuan: Perlindungan Hukum dan Hak Asasi Manusia IKIP Malang

Ritzer, George. Sociological Theory, ed. Ke-5, McGraw-Hill, 2000

Sosiologi keluarga goode, William J. 1983. Sosiologi Keluarga. Jakarta : Bina Aksara

*catatan: Tugas  Mata Kuliah Sosiologi Terapan

1 komentar:

  1. gender dan kekerasan ,, bagus lohh, posting yang banyak dong tentang sosiologinya,,,kembangin terus blog nya yah byar tambah bagus,,,,

    BalasHapus